Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S Poerwadarminta, politik
diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti
tata cara pemerintah, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya; dan dapat pula
berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksaan), siasat dan sebagainya
mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.
Selanjutnya sebagai suatu
sistem, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain
ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara; siapa pelaksana
kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan serta kepada
siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksanaan
kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.
Dalam bahasa Arab, politik
biasanya diwakili oleh kata al-siyasah
dan daulah, walaupun kata-kata
tersebut dan kata-kata lainnya yang berkaitan dengan politik seperti kadilan,
musyawarah, pada mulanya buka ditujukan untuk masalah politik. Kata siyasah dijumpai dalam bidang kajian
hukum, yaitu ketika berbicara masalah imamah, sehingga dalam fiqih dikenal
adanya bahasan tentang Fiqih Siyasah.
Demikian pula kata daulah pada
mulanya dalam Al-qur’an digunakan untuk kasus penguasaan harta dikalangan
orang-orang kaya, yaitu bahwa dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak
hanya berputar pada tangan-tangan orang yang kaya. Karena menurut sifatnya
harta tersebut harus mengalir atau berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh
orang-orang yang kaya (dulatan baina
agniya), kata daulah tersebut
juga digunakan untuk masalah politik yang sifatnya berpindah dari satu tangan
ke tangan lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak digunakan untuk
memutuskan perkara dalam kehidupan; dan kata musyawarah pada mulanya digunakan
pada kasus suami istri yang akan menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh
perempuan lain yang dalam hal ini perlu dimusyawarahkan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya
sejarah menggunakan kata siyasah dan
kata-kata lain yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut digunakan untuk
pengertian pengaturan masalah kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lainnya
yang terkait dengannya.
Rasulullah
SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah
Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya).
Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi
setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim).
Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan
masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum
muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan
melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa
yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin,
mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta
memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti
ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui
Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab : "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).
Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan
seluruh umat Muslim. Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat
terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya
menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan
sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam.
Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang
dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari
kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan
sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi.
Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan
sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda
kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab,
orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok
berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan
tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi
sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam.
Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan
(Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33).
Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.
Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan
urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri
berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok
atau individu rakyat.
Rasulullah saw
bersabda:
“Adalah Bani
Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal,
diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada
para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan
mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga ditegaskan
dalam hadits Rasulullah:
“Imam adalah
seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan
rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik
dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghazali: “Agama dan kekuasaan
adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah
penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala
sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan
pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan
menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi
hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal
ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu
Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die
Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Adapun umat Islam berbeda
pendapat tentang pengertian politik dalam syari’at Islam.[4][6] Pendapat Pertama, mengatakan bahwa Islam adalah satu agama yang
serba lengkap yang didalamnya terdapat antara lain sistem ketatangaraan atau
politik. Dalam bahasa lain, system politik atau fiqih Siyasah merupakan
integral dan ajaran Islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa sistem
keteladanan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh
Nabi Muhammad Saw dan para Khulafaur rasyidin, yaitu sistem khalifah.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian barat (sekuler), artinya agama tidak ada hubungannya degan urusan
kenegaraan atau sistem pemerintahan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad Saw hanya
seorang rasul, seperti rasul-rasul yang lain, yang mempunyai misi menyiarkan
agama bukan sebagai pemimpin dan pengatur Negara.
Pendapat ketiga, menyatakan menolak bahwa Islam merupakan agama
yang serba lengkap yang terdapat didalamnya segala sistem kehidupan termasuk
sistem ketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa islam sebagaimana
pendapat barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhan. Aliran ini
berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi
terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Namun perlu diingat, sejarah
membuktikan bahwa nabi kecuali seorang rasul atau kepala agama beliau adalah
sebagai kepala negara. Nabi menguasai wilayah Yasrib atau Madinah al-Munawarah
sebagai wilayah kekuasaan nabi, sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan
Piagam Madinah sebagai aturan dasar negaranya. Sepeninggal nabi, kedudukan
beliau sebagai kepala Negara digantikan oleh Abu Bakar yang merupakan hasil
kesepakatan para tokoh sahabat, selanjutnya disebut Khalifah. Sistem
pemerintahannya disebut Khilafah, sistem ini berlangsung hingga kepemimpinan
dibawah kekuasaan Ali bin Abi Tholib.
Semua orang mengakui bahwa semua
tata aturan yang Rasulullah Saw tegakkan bersama-sama para mukmin di Madinah,
apabila ditinjau dari segi kenyataan dan dibandingkan dengan ukuran-ukuran
politik pada masa modern ini dapatlah kita katakan bahwa tata aturan itu
merupakan tata aturan politik. Dalam pada itu tidak ada hubungan kita
mengatakan bahwa tata aturan itu berciri keagamaan, yaitu apabila kita lihat
kepada tujuan-tujuannya dan penggerak-penggeraknya. Kalau demikian, dapatlah
kita mengatakan bahwa tata aturan Islam itu adalah tata aturan yang bersifat
politik dan bersifat agama. Hal itu karena hakikat Islam meliputi segi-segi
kebendaan (maddiyah) dan segi-segi
kejiwaan (ruhiyah)dan dia mencakup
segala amal insani dalam kehidupan
duniawiyah dan ukhrawiyah.
B. Sejarah
Perpolitikan Dalam Islam
1. Politik Islam Masa Nabi
Islam
adalah agama pembaharu yang terasingkan dari tempat di mana ia diturunkan. Kota
Makkah dengan berbagai corak kehidupan masyarakat sosial belum mampu menerima sepenuhnya
kehadiran agama Islam. Hal itu dikarenakan sikap fanatisme yang mengakar untuk
mempertahankan esensi kabilah-kabilah. Penolakan masyarakat sosial Makkah dapat
kita lihat dari penindasan-penindasan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy
terhadapa Nabi Muhammad dan para pengikutnya.
Peristiwa
tersebut menjadikan umat Islam merasa pesimis akan diterima oleh
kabilah-kabilah yang ada, apalagi dengan ditolaknya seruan Nabi Muhammad oleh
kabilah Thaqif dari Ta’if yang kemudian disusul dengan penolakan-penolakan yang
dilakukan oleh kabilah-kabilah Kinda, Kalb, Banu ‘Amir dan Banu Hanifa.
Sejarah
perkembangan Islam mencatat, bahwa Islam tumbuh berkembang pesat di wilayah
Yatsrib. Wilayah ini dihuni oleh beberapa kabilah diantaranya, kabilah Aus,
Khazraj dan Yahudi. Perkembangan Islam di Yatsrib dipengaruhi oleh adanya
pertentangan perebutan kedaulatan dan kekuasaan antara kabilah Aus, Khazraj dan
Yahudi. Selain itu, perkembangan Islam juga didukung oleh adanya keyakinan pada
tubuh kaum Yahudi dengan aliran monotheismenya yang mencelah para penyembah
berhala dan berkeyakinan bahwa akan datang suatu saat seorang Nabi yang akan
mendukung mereka (Yahudi) dengan memberantas para penyembah berhala. Dari peristiwa-peristiwa lalu
dapat kita ambil kesimpulan bahwa agama islam juga mempunyai kaitan yang erat
dengan aspek politik. Sesuai dengan yang telah dipaparkan oleh Harun Nusution
dalam bukunya bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam adalah
prsoalan politik.
Langkah
politik Nabi Muhammad untuk mencari dukungan dari penduduk Yatsrib pertama kali
nampak pada peristiwa Ikrar
Aqabah, peristiwa tersebut menandai akan adanya kebebasan menyebarkan
agama Islam sehingga secara otomatis akan berdampak pada kekuatan
Islam. Hal itu bisa kita lihat dari sikap kaum kafir Qurasy yang terus-menerus
menyelidiki para pengikut Ikrar
Aqabah untuk diperlakukan secara tidak manusiawi. Peristiwa itu
terjadi karena kehawatiran kaum Qurasy akan munculnya kekuatan baru pada tubuh
umat Islam sehingga akan mengganggu eksistensi kekuasaan kaum kafir Qurasy.
Setelah
peristiwa Ikrar Aqabah, Nabi
Muhammad kembali memikirkan langkah politik selanjutnya dengan mengizinkan para
pengikutnya melakukan hijrah ke
kota Yatsrib. Sementara Nabi Muhammad masih memilih berdomisi di Kota Makkah
mencari masa-masa tenang sekaligus menunggu perintah dari Allah Swt.
pakar
berpendapat bahwa gerakan politik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan
langkah yang cerdas dan penuh dengan perhitungan. Hal itu terbukti dengan
adanya keberhasilan Nabi Muhammad dan para pengikutnya dalam melakukan
perintah hijrah.
Para peneliti sejarah
politik ada yang mengkategorikan bahwa corak politik yang diterapkan oleh nabi
Muhammad adalah bercorak teo-demokratis, yaitu suatu pola pemerintahan yang
dalam setiap menyelesaikan persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru
kemudian menunggu ketetapan dari tuhan.
Kehidupan
Yatsrib (kemudian terkenal dengan sebutan Madinah) pada masa Nabi Muhammad
menjadi batu pijakan utama dalam mencatat sejarah perpolitikan umat Islam. Para
pakar sejarah berpendapat bahwa politik Islam dalam konteks negara, pertama
kali muncul dan berkembang di Madinah.
Perpolitikan
Islam di Madiah terbentuk secara prural dengan kolaborasi dari berbagai
kalangan dan aliran, antara umat Islam, kaum Yahudi, para penyembah berhala
(kabilah Aus dan Khazraj). Secara garis besar, suasana politik pada waktu itu
dipengarui oleh dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia.
Langkah
politik Nabi Muhammad pertama kali adalah menyatukan kaum muslimin muhajirin dan ansor.Langkah ini bisa dikatakan
cukup cerdas, karena untuk membentuk kekuatan komunitas, syarat utama yang
harus dipenuhi adalah solidaritas antar penduduk. Kemudian Nabi Muhammad
membentuk sebuah nota kesepakatan antara penduduk Madinah secara umum yang
tercatat sebagai piagam Madinah.
Piagam
ini merupakan dokumen politik yang telah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad selama
kurun waktu seribu empat ratus dua puluh lima tahun lamanya. Piagam ini pulalah
yang telah menetapkan adanya kebebasan beragama, menyatakan pendapat,
berserikat, dan pelarangan akan tindak kejahatan. Dengan piagam itu, kota
Madinah menjadi tempat yang memiliki peradapan tinggi karena benar-benar telah
menghormati seluruh penduduk yang berdomosili di dalamnya. Madinah yang semula dipenuhi
dengan tindak kejahatan, kekerasan dan peperangan menjadi kota yang menjunjung
tinggi hak dan egaliter.
Menurut
al-Sayyid Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi seorang pengajar di
universitas Paris mengatakan bahwa yang paling menakjubkan tentang piagam Madinah
adalah memuat tentang prinsip-prinsip perpolitikan umat Islam yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Para
sejarawan berselisih pendapat dalam menentukan ketokohan Nabi Muhammad dalam
menjalankan roda perpolitikan di kota Madinah. Hal itu disebakan adanya
perbedaan pemahaman akan tugas seorang nabi. Apakah sikap politik yang diambil
oleh Nabi Muhammad sebagai aplikasi dari perintah yang berupa wahyu atau
merupakan hasil dari ijtihat sebagai
seorang pemimpin atau hakim sebagai jawaban dari kebutuhan dan situasi
masyarakat?
Perbedaan pandangan dalam menafsirkan tugas-tugas
kenabian dalam bidang politik menyebabkan perdepatan yang tak kunjung usai.
Apakah Islam memiliki sistem politik, apakah Islam merupakan agama yang
menjunjung demokrasi? Kalau kita mau jujur untuk kembali membuka
lembaran-lembaran sejarah, maka kita akan menemukan berbagai peristiwa yang
bersifat duniawi seperti; politik, ekonomi dan sebagainya, berawal dari
problema masyarakat masa Nabi, kemudian wahyu datang sebagai upaya penyelesaian
akan kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan unsur akidah yang secara langsung
turun dari langit tanpa melihat pada kondisi masyarakat.
Terlebih,
sepeninggal nabi Muhammad, umat Islam tidak memiliki sistem tatanan sosial
politik yang baku sehingga peristiwa perebutan kekuasaan untuk menggantikan
posisi nabi Muhammad sebagai pimpinan menyebabkan umat Islam terbelah menjadi
berbagai golongan. Demikan halnya dengan persoalan demokrasi, kalau kita
menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang mengedepankan asas
musyawarah mufakat, maka Islam adalah agama yang paling demokrasi. Namun, jika
kita menilik makna demokrasi sebagai sebuah sistem yang berasal dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka Islam bukan agama demokrasi karena secara
hukum syari’ah Islam berasal dari Tuhan untuk kemaslahatan manusia.
2.
Politik Islam Masa Khalifah al-Rasyidin
Sejarah
perkembangan umat Islam yan mengalami pancaroba dan maju-mundur sebenarnya
dimulai setelah Nabi wafat. Periode ini ditandai oleh berbagai peristiwa uji
coba sistem perpolitikan dan keagamaan dalam membangun wilayah Islam, dalam
bentuk konkret dengan berdasarkan pada landasan-landasan yang telah dibagun dan
diletakkan oleh Nabi Muhammad. Sejarah perkembangan umat Islam yang berjalan
secara gradual dan terseok-seok dimulai dengan munculnya masa khalifah
al-Râsyidîn.
Pada
masa khalifah al-Rasyidin, sistem politik umat Islam berbentuk khilafah, dengan
proses pemilihan pemimpin melalui jalur musyawarah mufakat atau melalui sistem
perwakilan. Atau oleh peneliti sejarah politik bentuk pemerintahan pada masa ini
bercorak aristokrat demokratik.[8][10]
Pada
waktu Nabi Muhammad wafat, konflik ditubuh umat Islam dalam menentukan pemimpin
sebagai pengganti Nabi tidak terbendung. Sebelum Nabi Muhammad dimakamkan, kaum
muslimin anshar berkumbul di serabi bani Sa’ad untuk memilih dan menentukan
pemimpin. Dalam musyawarah tersebut terdapat beberapa nama yang akan diajukan
kepada umat Islam, antara lain; Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn Khathab, Abu
Ubaid ibn Jarah. Kaum muslim anshar berpendapat bahwa syarat menjadi seorang
pemimpin adalah harus berasal dari kaum anshar, karena Nabi Muhammad telah
melakukan misi dakwanya di Makkah selama kurang lebih 13 tahun namun dengan
pengikut yang sedikit, tidak ada yang mampu melindunginya dari siksaan kaum
kafir Qurasy. Semenatara ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, ia dengan
leluasa bisa melakukan misi dakwahnya dengan atas bantuan kaum muslimin anshar,
sehingga Nabi Muhammad dan umat Islam mampu menaklukkan Jazirah Arab.
Sedangkan
kaum muslim muhajirin berpendapat bahwa syarat menjadi seorang pemimpin
pengganti Nabi Muhammad harus berasal dari Kota Makkah, karena kaum muslimin
Makkah adalah orang yang pertama kali percaya akan kenabian nabi Muhammad.
Setelah melalui perdebatan yang sangat panjang, akhirnya diputuskan bahwa
tiap-tiap golongan kaum muslimin mengajukan perwakilannya dan berakhir dengan
terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pemimpin (khalifah) umat Islam
pengganti Nabi Muhammad.
Namun,
dalam salah satu sumber mengatakan bahwa peistiwa pengangkatan Abu Bakar
al-Siddiq sebagai khalifah tidak dihadiri oleh Ali ibn Abi Thalib karena sibuk
menyiapkan proses pemakaman Nabi Muhammd. Setelah Ali ibn Abi Thalib mendengar
pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah, ia tidak menyetujui kecuali
setelah beberapa waktu yang cukup lama. Menurut riwayat dikatakan
bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah sahabat yang paling dekat dengan
Nabi Muhammad karena ia adalah orang yang pertama kali masuk Islam dan menjadi
suami dari Fatimah, putri Nabi Muhammad., sehingga lebih berhak menjadi
seoarang khalifah dibanding Abu Bakar al-Siddiq.
Pidato
kenegaraan yang dilontarkan Abu Bakar al-Siddiq merupakan statemen politik yang
maju dengan menggunakan prinsip-prinsip modern yang partisipatif dan egaliter. Khotbah itu merupakan khotbah
pertama yang menerangkan sistem pemerintahan Islam.Abu
Bakar al-Siddiq merupakan khalifah yang mampu menyelesaikan
pertikayan-pertikayan yang terjadi ditubuh umat Islam. Perbedaan-perbedaan yang
muncul cenderung mengarah pada unsur politik bukan pada unsur agama. Salah satu
gerakan politik Abu Bakar al-Siddiq adalah memerangi orang-orang yang ingkar
zakat atau lebih dikenal denganhurûb al-riddah.
Sosio
politik umat Islam pada masa Abu Bakar al-Siddiq berjalan stabil.
Prinsip-prinsip perpolitikan dalam membentuk sebuah khilafah yang digunakan
berpedoman pada ajaran-ajaran agama Islam berupa al-Qur’an dan Hadis.
Keberanian Abu Bakar ibn al-Siddiq dalam mengambil kebijakan-kebijakan tidak
populer menjadikan ia sebagai khalifah yang tangguh dan berwibawa.
Perlawanan
dan pertentang dalam pengankatan Abu Bakar al-Siddiq sebagai khalifah,
menjadikan khalifah pertama ini bertindak preventif dalam menentukan dan
memilih khalifah ke dua. Sebelum Abu Bakar al-Siddiq wafat, ia telah menyiapkan
komite pemilihan khalifah untuk menggantikannya. Dengan rekomendasi dari Abu
Bakar al-Siddiq dan persetujuan kaum muslimin pada umumnya, Umar ibn Khattab
terpilih secara aklamasi sebagai khalifah Islam ke dua setelah Abu Bakar
al-Siddiq.
Persoalan
yang terjadi pada masa khalifah Umar ibn Khatthab cenderung mengarah pada
persoalan politik luar, pada masa tersebut, umat Islam melakukan ekspansi
perluasan daerah. salah satu contoh dengan diutusnya Amr ibn Ash untuk memimpin
pembukaan kota Mesir. Sementara dalam tubuh umat Islam sendiri cenderung
setabil, hal itu didukung oleh keberanian dan kewibawaan yang dimiliki oleh
Umar ibn Khathab.
Perpecahan
terbesar terjadi ketika pada masa khalifah Utsman ibn Affan, hal itu muncul
karena para pengikut Ali ibn Abi Thalib dan kaum anshar merasa jenuh akan
kepemimpinan kaum muhajirin. Kejenuhan dan kebosanan itu memuncak ketika
khalifah Utsman ibn Affan lebih mementingkan kedekatan (kerabat) dalam
pengangkatan para penguasa. Khalifah Utsman ibn Affan yang notabeni berasal
dari keturunan bani umayyah, mendapat tantang keras dari kaum Syi’ah dan
keturunan bani Hasyim. Perselisihan politik semakin memanas sebagaimana
pertikayan yang pernah terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah pada masa
jahiliah (sebelum kedatangan Islam).[10][12]
Gerakan
makar oleh sebagian golongan dilancarkan secara sembunyi-sembunyi. Mereka
menentang kebijakan politik khalifah Utsman ibn Affan dengan menjadikan Ali ibn
Abi Thalib sebagai justifikasi dari gerakannya, salah satu tokoh provokatif
dalam peristiwa tersebut adalah Abdullah ibn Saba, seorang Yahudi dari Yaman
dan kemudian masuk Islam. Abdullah ibn Saba terkenal sebagai tokoh yang getol menyuarakan agar umat
Islam berpaling dari khalifah Utsman ibn Affan dan bersatu memilih Ali ibn
Thalib.
Setelah
khalifah Utsman ibn Affan wafat dalam keadaan terbunuh, maka kaum muslimin
memilih dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Dalam
proses pemilihan Ali ibn Abi Thalib, kaum muslimin terbagi menjadi tiga
golongan. Pertama; golongan
yang menerima dan mengangkat Ali ibn Abi Thalib, golongan ini didukung oleh
sebagian besar para pembesar kaum muhajirin. Kedua; golongan yang menolak pengangkatan Ali ibn Abi
Thalib sebagai khalifah, diantaranya; Thalha, al-Zubair dan Mua’wiyah,
mereka beranggapan dan menuduh bahwa Ali ibn Abi Thalib ikut terlibat dalam
pembunuhan khalifah Utsman ibn Affan. Ketiga; golongan yang memilih netral dengan tidak bepihak
pada kedua golongan di atas. Golongan ini didukung oleh sebagian besar para
pembesar umat Islam dari kalangan para sahabat diantaranya; Abdullah ibn Umar
ibn Khathab, Muhammad ibn Maslamah, Sa’id ibn Abi Waqqash, Asamah ibn Zaid,
Husnan ibn Tsabit dan Abdullah ibn Salamah. Dari berbagai golongan di
atas, muncullah beberapa aliran dalam tubuh umat Islam diantaranya; Khawarij,
Syi’ah dan Murjiah.
Masa
perpolitikan umat Islam dalam ranah khilafah berakhir pada masa khalifah Ali
ibn Thalib. Masa khilafah merupakan pengalaman perpolitikan umat Islam yang
mampu mengenal perbedaan terkecil antara gagasan dan realita. Namun diantara
keempat khalifah tersebut, hanya khalifah Abu Bakar Al-Siddiq yang wafat secara
wajar. Umar ibn Khathab dibunuh oleh budak gubenur Basrah yang beragama
nasrani, Utsman ibn Affan dibunuh oleh lawan politiknya, kemudian rumahnya
diserang dengan tuduan pemerintah yang tirani, dan Ali ibn Thalib terbunuh
ketika sedang dalam perjalanan menuju masjid.
3.
Dari Khilafah Menuju Daulah
Jika
kita mengkaji secara teliti sejarah perkembangan Islam, maka kita akan
menemukan beberapa pola atau perubahan yang sering kali dilandaskan pada
realita yang ada. Dengan analisa yang bersifat instan, maka kita akan mampu
memprediksi hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang.
Di
sinilah kita akan menemukan pola perpindahan sistem perpolitikan Islam. Dalam
catatan sejarah, Muawiyah (pendiri Dinasti Umawiyah) menyatakan dirinya sebagai
khalifah pada tahun 660, pada masa khalifah Ali ibn Thalib masih berkuasa.
Peristiwa tersebut menyebabkan perpecahan daerah kekuasaan Islam menajadi dua
bagian, pertama; Kuffah
sebagai pusat pemerintahan khalifah Ali ibn Abi Thalib, kedua; Demaskut sebagai pusat
pemerintahan Mua’wiyah.
Namun
secara garis besar, kepemimpinan Mu’awiyah disahkan secara general setelah
khalifah Ali ibn Abi Thalib meninggal. Masa kepemimpinan Mu’awiyah
merupakan starting point perubahan
sistem perpolitikan umat Islam dari sistem khilafah menuju sistem daulah.
Dalam
sejarah tercatat bahwa Mu’awiyah dengan kreasi politiknya mampu menanggulangi
suasana ricuhdalam tubuh
umat Islam. Keberanian Mu’awiyah merubah sistem perpolitikan khilafah dengan
sistem daulah telah menyatukan kembali umat Islam yang bertikai sehingga
terkenal dengan masa ‘âmul jamâ’ah (tahun
rekonsiliasi). Mu’awiyah merubah pola perpolitikan umat Islam dengan membangun
infra struktural pemerintah seperti kantor-kantor.
Sosio
perpolitikan umat Islam di masa dinasti Umawiyah dihiyasi oleh berbagai
pertempuran ideologi antara ahlul hadis, theolog, filosof dan sebagainya. Para
tokoh berusaha untuk memperoleh dukungan dari para penguasa sehingga ideologi
yang diajarkan bisa dengan muda diterima oleh masyarakat. Pada masa dinasti
Umawiyah, perkonomian umat Islam maju dengan pesat terbukti dengan adanya mata
uang khusus yang disahkan oleh dinasti Umawiyah sebagai alat transaksi jual
beli. Pergantian pimpinan pada masa ini berdasarkan pada garis keturunan,
sehingga jauh berbeda bila dibandingkan dengan masa khilafah. Dinasti ini
bertahan dari tahun 661-750 M.
Setelah
dinasti Umawiyah runtuh, dinasti Abbasiah muncul dengan pola dan sistem politik
yang sama. Bani Abbasiah yang secara garis keturunan berasal dari Bani Hasyim
secara otomatis mendapatkan dukungan penuh dari kaum Syi’ah. Pada masa dinasti
Abbasiah, berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan budaya berkembang secara
pesat. Budaya Yunani tersebar luas pada masa dinasti ini, dengan ditandai
dengan banyaknya buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani. Dinasti ini
bertahan dari tahun 750-1517 M, dengan pembagian dua wilayah, pertama; Dinasti Abbasiah di
Bagdad yang dipelopori oleh oleh Abu al-Abbas Al-Saffah dan berakhir pada masa
al-Musta’sim. Kedua; Dinasti
Abbasiyah di Kairo yang didirikan oleh al-Mustansir dan berakhir pada masa
al-Mutawakkil III. Sebagaimana dinasti Umawiyah, dinasti ini juga menerapkan
sistem keturunan dalam proses peralihan kekuasaan.
C. Prinsip-Prinsip
Dasar Politik Islam
Menurut teori Islam, dalam mekanisme operasional
pemerintahan negara seyogianya mengacu pada prinsip-prinsip syari’ah. Islam
sebagai landasan etika dan moral direalisir dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Endang Saifuddin Anshari (1986:167) mengatakan,
“Negara adalah organisasi (organ, badan atau alat) bangsa untuk mencapai
tujuannya.” Oleh karena itu, bagi setiap Muslim negara adalah alat untuk
merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya
sebagai khalifah Allah, untuk mencapai keridhaan Allah, kesejahteraan duniawi
dan ukhrawi, serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya.
Secara konseptual di kalangan ilmuwan dan pemikir
politik Islam era klasik, menurut Mumtaz
Ahmad dalam bukunya State, Politics, and Islam, menekankan tiga ciri
penting sebuah negara dalam perspektif Islam, yakni adanya masyarakat Muslim (ummah), hukum
Islam (syari’ah), dan kepemimpinan
masyarakat Muslim (khilafah).
Prinsip-prinsip
negara dalam Islam tersebut ada yang berupa prinsip-prinsip dasar
yang mengacu pada teks-teks syari’ah yang jelas dan tegas. Selain itu, ada
prinsip-prinsip tambahan yang merupakan kesimpulan dan termasuk ke dalam fikih.
Prinsip-prinsip
dasar politik adalah: pertama, kedaulatan, yakni
kekuasaan itu merupakan amanah. Kedaulatan yang mutlak dan legal
adalah milik Allah. Abu al-A’la al-Maududi menyebutnya dengan “asas pertama
dalam teori politik Islam.” Al-Maududi dalam bukunya It’s Meaning and
Message (1976: 147-148) menegaskan,”Kepercayaan terhadap keesaan
(tauhid) dan kedaulatan Allah adalah landasan dari sistem sosial dan
moral yang dibawa oleh Rasul Allah. Kepercayaan itulah yang merupakan
satu-satunya titik awal dari filsafat politik dalam Islam.”
Kedaulatan
ini terletak di dalam kehendak-Nya seperti yang dapat dipahami dari syari’ah.
Syari’ah sebagai sumber dan kedaulatan yang aktual dan konstitusi ideal, tidak
boleh dilanggar. Sedang masyarakat Muslim, yang diwakili oleh konsensus rakyat
(ijma’ al-ummah), memiliki kedaulatan dan hak untuk mengatur diri
sendiri.
Kedua, syura dan ijma’.
Mengambil keputusan di dalam semua urusan kemasyarakatan dilakukan melalui
konsensus dan konsultasi dengan semua pihak. Kepemimpinan negara dan
pemerintahan harus ditegakkan berdasarkan persetujuan rakyat melalui
pemilihan secara adil, jujur, dan amanah. Sebuah pemerintahan atau sebuah
otoritas (sulthan) yang ditegakkan dengan cara-cara non-syari’ah adalah
tidak dapat ditolerir dan tidak dapat memaksa kepatuhan rakyat.
Ketiga, semua warga negara dijamin hak-hak
pokok tertentu. Menurut Subhi Mahmassani dalam bukunya Arkan
Huquq al-Insan,beberapa hak warga negara yang perlu dilindungi adalah:
jaminan terhadap keamanan pribadi, harga diri dan harta benda,
kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan
pelayanan hukum secara adil tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak, pelayanan medis dan kesehatan, serta keamanan untuk
melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi.
Keempat, hak-hak negara. Semua warga negara, meskipun
yang oposan atau yang bertentangan pendapat dengan pemerintah sekalipun, mesti
tunduk kepada otoritas negara yaitu kepada hukum-hukum dan peraturan
negara.
Kelima, hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi warga
negara yang non-Muslim—memiliki hak-hak sipil yang sama. Karena negara ketika
itu adalah negara ideologis, maka tokoh-tokoh pengambilan keputusan yang
memiliki posisi kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr), mereka harus
sanggup menjunjung tinggi syari’ah. Dalam sejarah politik Islam,
prinsip dan kerangka kerja konstitusional pemerintahan
seperti ini, terungkap dalam Konstitusi Madinah atau “Piagam Madinah” pada era
kepemimpinan Rasulullah di Madinah, yang mengayomi masyarakat yang plural.
Keenam, ikhtilaf dan konsensus yang
menentukan. Perbedaan-perbedaan pendapat diselesaikan berdasarkan keputusan
dari suara mayoritas yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat. Prinsip
mengambil keputusan menurut suara mayoritas ini sangat penting untuk mencapai
tujuan bersama.
Selain
prinsip-prinsip dasar negara yang konstitusinya berdasar syari’ah,
ada juga prinsip-prinsip tambahan (subsider) yang merupakan kesimpulan
dan termasuk ke dalam bidang fikih siyasah (hukum
ketatanegaraan dalam Islam). Prinsip-prinsip tambahan
tersebut adalah mengenai pembagian fungsi-fungsi pemerintahan yaitu
hubungan antara Badan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Dalam hubungan
ketiga badan (lembaga negara) tersebut prinsip-prinsip berkonsultasi (syura)
mesti dilaksanakan di dalam riset, perencanaan, menciptakan undang-undang dan
menjaga nilai-nilai syari’ah dengan memperhatikan otoritas (kewenangan) yang
dimiliki masing-masing lembaga tersebut.
Prinsip-prinsip politik dalam Islam, Abdul Qadir Audah
dalam bukunya Al-A’mal al-Kamilah:
Al-Islam wa Audha’una al-Qanuniyah(1994:
211-223) mensistematisir sebagai berikut: 1) Persamaan yang komplit; 2) Keadilan
yang merata; 3) Kemerdekaan dalam pengertian yang sangat luas; 4) Persaudaraan;
5) Persatuan; 6) Gotong royong (saling membantu); 7) Membasmi pelanggaran
hukum; 8) Menyebarkan sifat-sifat utama; 9) Menerima dan mempergunakan hak
milik yang dianugerahkan Tuhan; 10) Meratakan kekayaan kepada seluruh rakyat,
tidak boleh menimbunnya; 11) Berbuat kebajikan dan saling menyantuni; dan 12)
Memegang teguh prinsip musyawarah).
D.
Ruang Lingkup Politik Islam
Pada garis
besarnya, obyek pembahasan sistem politik Islam meliputi:
1.
Siyasah Dusturiyah atau fiqih modern disebut hukum tatanegara,
2.
Siyasah Dauliyah atau disebut hukum internasional dalam Islam,
3.
Siyasah Maliyah yaitu hukum yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan, dan
pengeluaran uang milik negara.[12][14]
Siyasah Dusturiyah, secara global membahas hubungan pemimpin dengan
rakyatnya serta institusi yang ada di Negara itu sesuai dengan kebutuhan rakyat
untuk kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan rakyat itu sendiri.
Sedangkan Siyasah Dauliyah meliputi:
1. Kesatuan umat Islam,
2. Keadilan (Al adalah),
3. Persamaan (Al musawah),
4. Kehormatan Manusia (Karomah insaniyah),
5. Toleransi (Al tasamuh),
6. Kerjasama kemanusiaan,
7. Kebebasan, kemerdekaan (Al akhlak Al
karomah).
Sedangkan
Siyasah Maliyah meliputi:
1. Prinsip-prinsip kepemilikan harta,
2. Tanggung jawab sosial yng kokoh, tanggung
jawab terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan sebaliknya.
3. Zakat, hasil bumi, emas perak, ternak dan
zakat fitrah,
4. Khoroj (pajak),
5. Harta peninggalan dari orang yang tidak
meninggalkan ahli waris,
6. Jizyah (harta temuan),
7. Ghonimah (harta rampasan perang),
8. Bea cukai barang impor,
9. Eksploitasi sumber daya alam yang
berwawasan lingkungan
BAB 3
PENUTUP
Definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan
(kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum
Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah saw
bersabda: