Rabu, 12 Desember 2012

Di Indonesia, Hukum “Tajam ke Bawah, tetapi Tumpul ke Atas”

-->
Istilah ini mungkin sudah lumrah di masyarakat Indonesia saat ini bahwa, hokum di Indonesia timpang sebelah atau dalam tanda kutip “Tajam kebawah dan Tumpul keatas” maksud dari istilah tersebut adalah salah satu sindiran nyata bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum masyarakat kelas menengah, Coba bandingkan dengan para Koruptor yang notabene adalah para penjabat kelas ekonomi ke atas, baik mulai dari tingkat anggota DPRD kota hingga para mantan menteri pun terjerat dengan kasus korupsi, 
Bayangkan saja beberapa kasus yang baru baru ini terjadi salah satu kasus yang cukup menggeparkan adalah pencurian sandal jepit yang dilakukan di tasikmalaya, hanya karena sang pemilik merupakan anggota kepolisian, maka sang terdakwa yang masih berusia dibawah umur ini terancam hukuman penjara 5 tahun. Namun karena tekanan yang amat besar dari masyarakat banyak dan pemberitaan yang besar dari media maka kasus yang terjadi awal 2012 ini akhirnya berakhir dengan cara kekeluargaan, Sementara Kuruptor yang mencuri uang Negara miliyaran rupiah hanya dihukum 2 tahun penjara + pemotongan masa tahanan atau Remisi.
Dari sinilah saya ingin mencoba menggali sedikit tentang permasalahan keadilan di Negara yang sudah 67 tahun merdeka ini dan memiliki bunyi sila ke-2 “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab.
-->
Salah satu Contoh kasus keadilan yang akan kami angkat adalah kasus pencurian sandal jepit dan vonis para koruptor.
Berikut adalah kutipan pendapat para pengamat politik tentang kasus yang sempat menghebohkan awal tahun 2012.
-->

Oleh : Jamaris S.pd
Artikel yang saya angkat kali ini berjudul "Antara Pencuri Sandal Jepit Dengan Pencuri Uang Negara" Saya mengangkat topik ini terinsperasi oleh isu yang tengah berkembang dan banyak mendapat perhatian masyarakat luas termasuk media massa. Dimana AAL, seorang siswa kelas 1 SMK di Palu, Sulawesi Tengah diajukan ke pengadilan atas kasus dugaan pencurian sandal jepit milik seorang anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah.
Kasus yang menimpa anak di bawah umur (15 tahun) ini mendapat perhatian serius dari Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi. Menurut Seto Mulyadi, semua pihak yang terkait kasus ini baik kepolisian maupun kejaksaan bersalah. Sanksi bagi kenakalan anak-anak seharusnya dikembalikan kepada orang tua anak bersangkutan, bukan di jerat dengan hukuman penjara. Selain itu Front Penyelamat Kedaulatan Rakyat mengumpulkan 1.000 sandal jepit sebagai bentuk solidaritas buat AAL. Setelah terkumpul 1.000 sandal jepit, kemudian dititipkan ke mabes polri untuk diserahkan kepada Briptu Ahmad Rusdi si pemilik sandal jepit yang hilang di curi. Sepertinya rakyat marah karena tindakan dari pihak yang seharusnya melindungi anak, ternyata menyeretnya ke penjara.
Secara sederhana, mencuri dapat diartikan “mengambil sesuatu yang bukan miliknya”. Tindakan mencuri merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh peraturan apapun di dunia ini. Menurut hukum agama, mencuri adalah tindakan dosa. Menurut hukum negara, mencuri adalah tindakan melawan hukum. Begitu juga menurut norma adat yang berlaku diseluruh daerah di Indonesia bahwa mencuri adalah perbuatan yang melanggar adat. Memang wajar seseorang yang melanggar hukum agama, hukum negara, dan norma-norma adat diberi hukuman. Namun perlu diperhatikan siapa dan apa tujuan seseorang melakukan pencurian.
Kembali ke judul posting "Antara Pencuri Sandal Jepit Dengan Pencuri Uang Negara" Kedua tindakan tersebut adalah melawan hukum karena sama-sama mencuri. Namun perlu dibedakan tindakan yang dilakukan seorang anak yang mencuri sandal jepit dengan tindakan seorang pejabat yang mencuri uang negara (korupsi). Seorang anak nekat mencuri mungkin karena kemiskinan sehingga tidak mampu membelinya. Sedangkan seorang pejabat mencuri uang negara (korupsi) bukan karena kemiskinan, tapi demi memperkaya diri atau kelompoknya. Inilah yang membuat sebagian besar rakyat marah karena banyak para pelaku korupsi (koruptor) di negara ini yang belum disentuh hukum, sementara anak kurang mampu yang mencuri sandal jepit saja dijerat hukum.
Siapa yang tidak pernah dalam hidupnya melakukan kesalahan seperti mencuri?. Sebagian besar orang tentu pernah melakukan kesalahan, baik kesalahan ringan maupun berat. Apalagi seorang anak dalam masa pertumbuhan sering melakukan kesalahan karena dalam masa tersebut anak sedang mencari jati dirinya. Perlu peran orang tua mengawasi dan mengarahkan anaknya supaya tidak terjerumus dalam tindakan salah. Orang tua harus mencari tahu apa sebenarnya yang diinginkan anaknya. Apabila seorang anak melakukan kesalahan seperti mencuri, maka orang tua harus menasehatinya. Siapa sebenarnya yang saya maksud ORANG TUA di sini? Mereka adalah ayah dan ibu sebagai keluarga dekatnya, orang sekitar lingkungan anak, dan penegak hukum sebagai aparatur negara. Bukankan semua warga negara dilindungi oleh hukum dan undang-undang? Dengan arti kata semua warga negara berkewajiban untuk melindungi anak.
Menanggapi kasus anak seperti yang menimpa AAL, saya tidak setuju bila dijatuhi hukuman penjara, karena perkembangannya akan terganggu. Lagi pula sebenarnya tujuan seseorang dipenjara adalah untuk memberikan efek jera. Efek jera sangat tepat diberikan kepada seorang koruptor, karena koruptor adalah orang dewasa yang telah bisa membedakan antara yang benar dengan yang salah. Jadi aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum harus membedakan kesalahan seorang pencuri sandal jepit dengan seorang koruptor yang mencuri uang negara untuk kepentingan diri dan kelompoknya, Intinya “JANGAN HUKUM TAJAM KE BAWAH DAN TUMPUL KE ATAS.
Dari artikel di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya keadilan hukum di negara kita masih lah sangat rentan akan tebang pilih alias tidak merata, semua itu kebanyakan disebabkan lagi-lagi oleh para “Oknum” penegak hukum itu sendiri. Dari sinilah kita perlu mengambil pelajaran yang sangat berarti bahwa keadilan adalah segala galanya bila kita menganut negara bersistem demokrasi, karena falsafah dari demokrasi Indonesia adalah demokrasi dari rakyat dan dijalankan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat.
Kesenjangan keadilan diharapkan tidak terjadi lagi. Sebab, tindak pidana ringan seperti pencurian dengan nilai di bawah Rp 2,5 juta tidak perlu dikenai pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Pemeriksaan cepat oleh hakim tunggal dibolehkan. Tersangka juga tidak perlu ditahan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2012 tentang Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Peraturan MA ini ditandatangani Harifin A Tumpa, Ketua MA saat itu, tanggal 27 Februari lalu. Kemudian pada Rabu (17/10/2012), instansi-instansi penegak hukum bersepakat untuk menerapkan Peraturan MA nomor 2/2012 itu. Kesepakatan bersama ditandatangani Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sihabuddin, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Burhanuddin, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman, dan Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung Djoko Sarwoko, disaksikan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin.
-->

0 komentar:

Posting Komentar