-->
Istilah ini mungkin sudah lumrah di masyarakat
Indonesia saat ini bahwa, hokum di Indonesia timpang sebelah atau dalam tanda
kutip “Tajam kebawah dan Tumpul keatas” maksud dari istilah tersebut adalah
salah satu sindiran nyata bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum
masyarakat kelas menengah, Coba bandingkan dengan para Koruptor yang notabene
adalah para penjabat kelas ekonomi ke atas, baik mulai dari tingkat anggota
DPRD kota hingga para mantan menteri pun terjerat dengan kasus korupsi,
Bayangkan saja beberapa kasus yang baru baru ini
terjadi salah satu kasus yang cukup menggeparkan adalah pencurian sandal jepit
yang dilakukan di tasikmalaya, hanya karena sang pemilik merupakan anggota
kepolisian, maka sang terdakwa yang masih berusia dibawah umur ini terancam
hukuman penjara 5 tahun. Namun karena tekanan yang amat besar dari masyarakat
banyak dan pemberitaan yang besar dari media maka kasus yang terjadi awal 2012
ini akhirnya berakhir dengan cara kekeluargaan, Sementara Kuruptor yang mencuri
uang Negara miliyaran rupiah hanya dihukum 2 tahun penjara + pemotongan masa
tahanan atau Remisi.
Dari sinilah saya ingin mencoba menggali sedikit
tentang permasalahan keadilan di Negara yang sudah 67 tahun merdeka ini dan
memiliki bunyi sila ke-2 “Kemanusiaan Yang Adil
Dan Beradab.
-->
Salah satu Contoh kasus keadilan yang akan kami angkat
adalah kasus pencurian sandal jepit dan vonis para koruptor.
Berikut adalah kutipan pendapat para pengamat politik
tentang kasus yang sempat menghebohkan awal tahun 2012.
-->
Oleh : Jamaris S.pd
Artikel yang saya angkat kali ini berjudul "Antara Pencuri Sandal Jepit Dengan Pencuri Uang Negara"
Saya mengangkat topik ini terinsperasi oleh isu yang tengah berkembang dan
banyak mendapat perhatian masyarakat luas termasuk media massa. Dimana AAL,
seorang siswa kelas 1 SMK di Palu, Sulawesi Tengah diajukan ke pengadilan atas
kasus dugaan pencurian sandal jepit milik seorang anggota Brimob Polda Sulawesi
Tengah.
Kasus yang menimpa anak di bawah umur (15 tahun) ini
mendapat perhatian serius dari Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak,
Seto Mulyadi. Menurut Seto Mulyadi, semua pihak yang terkait kasus ini baik
kepolisian maupun kejaksaan bersalah. Sanksi bagi kenakalan anak-anak
seharusnya dikembalikan kepada orang tua anak bersangkutan, bukan di jerat
dengan hukuman penjara. Selain itu Front Penyelamat Kedaulatan Rakyat
mengumpulkan 1.000 sandal jepit sebagai bentuk solidaritas buat AAL. Setelah
terkumpul 1.000 sandal jepit, kemudian dititipkan ke mabes polri untuk
diserahkan kepada Briptu Ahmad Rusdi si pemilik sandal jepit yang hilang di
curi. Sepertinya rakyat marah karena tindakan dari pihak yang seharusnya
melindungi anak, ternyata menyeretnya ke penjara.
Secara sederhana, mencuri dapat diartikan “mengambil
sesuatu yang bukan miliknya”. Tindakan mencuri merupakan suatu tindakan yang
dilarang oleh peraturan apapun di dunia ini. Menurut hukum agama, mencuri
adalah tindakan dosa. Menurut hukum negara, mencuri adalah tindakan melawan
hukum. Begitu juga menurut norma adat yang berlaku diseluruh daerah di
Indonesia bahwa mencuri adalah perbuatan yang melanggar adat. Memang wajar
seseorang yang melanggar hukum agama, hukum negara, dan norma-norma adat diberi
hukuman. Namun perlu diperhatikan siapa dan apa tujuan seseorang melakukan
pencurian.
Kembali ke judul posting "Antara Pencuri
Sandal Jepit Dengan Pencuri Uang Negara" Kedua tindakan tersebut
adalah melawan hukum karena sama-sama mencuri. Namun perlu dibedakan tindakan
yang dilakukan seorang anak yang mencuri sandal jepit dengan tindakan seorang
pejabat yang mencuri uang negara (korupsi). Seorang anak nekat mencuri mungkin
karena kemiskinan sehingga tidak mampu membelinya. Sedangkan seorang pejabat
mencuri uang negara (korupsi) bukan karena kemiskinan, tapi demi memperkaya
diri atau kelompoknya. Inilah yang membuat sebagian besar rakyat marah karena
banyak para pelaku korupsi (koruptor) di negara ini yang belum disentuh hukum,
sementara anak kurang mampu yang mencuri sandal jepit saja dijerat hukum.
Siapa yang tidak pernah dalam hidupnya melakukan
kesalahan seperti mencuri?. Sebagian besar orang tentu pernah melakukan
kesalahan, baik kesalahan ringan maupun berat. Apalagi seorang anak dalam masa
pertumbuhan sering melakukan kesalahan karena dalam masa tersebut anak sedang
mencari jati dirinya. Perlu peran orang tua mengawasi dan mengarahkan anaknya
supaya tidak terjerumus dalam tindakan salah. Orang tua harus mencari tahu apa
sebenarnya yang diinginkan anaknya. Apabila seorang anak melakukan kesalahan
seperti mencuri, maka orang tua harus menasehatinya. Siapa sebenarnya yang saya
maksud ORANG TUA di sini? Mereka adalah ayah dan ibu sebagai keluarga dekatnya,
orang sekitar lingkungan anak, dan penegak hukum sebagai aparatur negara.
Bukankan semua warga negara dilindungi oleh hukum dan undang-undang? Dengan
arti kata semua warga negara berkewajiban untuk melindungi anak.
Menanggapi kasus anak seperti yang menimpa AAL, saya
tidak setuju bila dijatuhi hukuman penjara, karena perkembangannya akan
terganggu. Lagi pula sebenarnya tujuan seseorang dipenjara adalah untuk
memberikan efek jera. Efek jera sangat tepat diberikan kepada seorang koruptor,
karena koruptor adalah orang dewasa yang telah bisa membedakan antara yang
benar dengan yang salah. Jadi aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum
harus membedakan kesalahan seorang pencuri sandal jepit dengan seorang koruptor
yang mencuri uang negara untuk kepentingan diri dan kelompoknya, Intinya “JANGAN HUKUM TAJAM KE BAWAH DAN TUMPUL KE ATAS.”
Dari artikel di atas, kita dapat menyimpulkan
bahwa sebenarnya keadilan hukum di negara kita masih lah sangat rentan akan
tebang pilih alias tidak merata, semua itu kebanyakan disebabkan lagi-lagi oleh para “Oknum” penegak hukum itu sendiri. Dari
sinilah kita perlu mengambil pelajaran yang sangat berarti bahwa keadilan
adalah segala galanya bila kita menganut negara bersistem demokrasi,
karena falsafah dari demokrasi Indonesia adalah demokrasi dari rakyat dan
dijalankan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat.
Kesenjangan keadilan diharapkan tidak terjadi lagi.
Sebab, tindak pidana ringan seperti pencurian dengan nilai di bawah Rp 2,5 juta
tidak perlu dikenai pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Pemeriksaan cepat oleh hakim tunggal dibolehkan. Tersangka juga tidak perlu
ditahan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2012
tentang Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Peraturan MA ini ditandatangani Harifin A Tumpa, Ketua
MA saat itu, tanggal 27 Februari lalu. Kemudian pada Rabu (17/10/2012),
instansi-instansi penegak hukum bersepakat untuk menerapkan Peraturan MA nomor
2/2012 itu. Kesepakatan bersama ditandatangani Direktur Jenderal Pemasyarakatan
Sihabuddin, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Burhanuddin, Kepala Badan Reserse
Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman, dan Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah
Agung Djoko Sarwoko, disaksikan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin.
-->
0 komentar:
Posting Komentar